Pertambangan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka
upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan
penjualan bahan
galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Paradigma baru kegiatan industri
pertambangan ialah mengacu pada konsep Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan,
yang meliputi :- Penyelidikan Umum (prospecting)
- Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
- Studi kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal)
- Persiapan produksi (development, construction)
- Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
- Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
- Pengolahan (mineral dressing)
- Pemurnian / metalurgi ekstraksi
- Pemasaran
- Corporate Social Responsibility (CSR)
- Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
Pertambangan di Indonesia
Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital).[1] Bahan Golongan A merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan plutonium. Sementara, Bahan Golongan B dapat menjamin hidup orang banyak, contohnya emas, perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir, marmer, batu kapur dan asbes.
PT. Freeport di Papua telah berhasil
mengeruk keuntungan hingga miliaran dollar pertahun. Sejak berdiri, kecaman
atasnya datang silih berganti.
PT. Freeport beroperasi di Papua sejak April
1967. Perusahaan asal Amerika Serikat yang menguasai cadangan emas dan tembaga
kedua terbesar di dunia itu memulainya dengan kontrak karya I. Freeport
melakukan eksplorasi dilahan yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas
terbesar, 2,5 miliar ton. Dalam perjalanannya, sepanjang 1992 hingga 2002,
Freeport telah berhasil melambungkan produksinya hingga 5,5 juta ton tembaga,
828 ton perak dan 533 ton emas. Pada 1998, perusahaan ini bahkan berhasil
menghasilkan agregat penjualan sebesar 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta
ons emas. Dengan penghasilan itu Freeport mengantongi keuntungan triliunan
rupiah sepanjang tahun.
Dalam kurun waktu dua tahun berproduksi sejak
1973, PT. Freeport yang dulunya perusahaan tambang kecil berhasil mengantongi
perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambang. Itu belum termasuk
hasil ikutan seperti emas dan perak. Juga belum termasuk penemuan lokasi
tambang baru pada 1988 di Pegunungan Grasberg yang mempunyai timbunan emas,
perak, dan tembaga senilai US$ 60 juta miliar. Ironisnya, dengan kekayaan
sebesar itu, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan meningkat pesat disekitar
pertambangan PT. Freeport.
Pencemaran lingkungan selanjutnya menjadi
persoalan serius. Penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potential
acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailling (butiran pasir alami
hasil pengolahan konsentrat). Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang
dari 250 ribu metrik ton bahan tambang. Material bahan yang diambil hanya 3%.
Inilah yang diolah menjadi konsentrat kemudian diangkut ke luar negeri melalui
pipa yang dipasang ke kapal pengangkut di Laut Arafuru. Sisanya, sebanyak 97%
berbentuk tailing. Aktivitas ini mengakibatkan, fenetasi hutan daratan rendah
seperti Dusun Sagu masyarakat Kamoro di Koprapoka, dan beberapa dataran rendah
di wilayah Timika hancur. Parahnya lagi, terjadi pula perubahan iklim mikro
akibat penambangan terbuka.
Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames
& Moore melaporkan pada tahun 1996, dan disetujui oleh pihak Freeport,
ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal dihasilkan tambang tersebut selama
beroperasi. Hasil investigasi The New York Times (NYT) tentang limbah tambang
Freeport-McMoran di Papua juga demikian. Menurut laporan Freeport sendiri,
limbah itu luasnya 8 km persegi. Pada beberapa tempat kedalamannya mencapai 275
meter. Terhadap teguran dari berbagai NGO lingkungan hidup, termasuk ex-mentri
Sonny Keraf, Freeport hanya mengatakan, limbah tersebut tidak berbahaya.
Sejumlah agency, konsultan perusahan asuransi
yang dipakai Freeport,massive die-off” pada vegetasi disepanjang
sungai. Sampel-sampel juga menunjukkan, air sungai mengandung racun yang cukup
untuk membunuh organisme sungai yang sensitif. Kemunculan tumbuhan berwarna
hijau terang sepanjang beberapa kilometer di tepi sungai telah menunjukkan
kandungan tembaga dari limbah telah mencemari sungai. menyebutkan, limbah itu
telah menyebabkan “
PT. Freeport Indonesia (PT. FI) adalah bukti
kekuatan ekonomi global. Dalam beberapa pendapat, seperti dimuat sejumlah
media, disebutkan, selama 40 tahun lebih beroperasi, PT Freeport telah merusak
tak hanya pegunungan Grasberg dan Erstberg, tapi juga telah merubah bentang
alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa, mencemari perairan di
muara sungai dan mengkontaminasi sejumlah besar mahluk hidup.
Konflik Dimulai
Kemewahan dan dampak Freeport memang tiada
duanya. Atas segala aktivitas tambang itu, Freeport menghadirkan pengamanan
super ketat tentara dan Polisi yang dibayar jutaan dolar pertahun. Pengamanan
ini, dalam beberapa waktu, kerap dijadikan bisnis. Seorang sumber di Timika
menyebutkan, bisnis militer dipertambangan Freeport tidak bisa dipandang
sebelah mata. “Bayangkan saja, ‘permainan’ yang dilakukan Freeport, pemerintah
Timika, pengusaha di Timika dan Militer pada perang dua suku Amugme dan Dhani pada
tahun 2007 silam,” ujarnya. Saat itu bisnis militer yang dijalankan adalah
dengan mengantar para penambang dari kedua suku menggunakan truk tentara.
Mereka dikenai jutaan rupiah per kepala. Rata-rata truck memuat 30 orang. Dari
bisnis ini, militer meraup untung hingga miliaran rupiah. Penambang adalah
mereka yang harus membayar denda secara adat usai berperang. Jumlahnya ratusan.
Mereka mencari emas diwilayah penambangan Freepot dan kemudian dijual pada
pengusaha emas di Timika.
Pendapat sumber tersebut sejalan dengan Poengky
Indarti, Direktur Hubungan Eksternal Imparsial. Dalam sebuah kesempatan pekan
kemarin, Poengky mengatakan, sejumlah insiden berdarah di Timika, termasuk
penembakan terakhir seorang WNA Australia di kawasan operasional PT. Freeport Indonesia,
lebih banyak terkait perebutan bisnis jasa keamanan antara militer dan polisi.
Menurutnya, sejak dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 63/2004 tentang
pengamanan objek vital nasional, keamanan diserahkan kepada pihak internal. Di
Tembagapura, diserahkan kepada PT. Freeport dan kepolisian. “Dahulu keamanan
Freeport diserahkan kepada TNI hingga dua batalyon,” katanya.
Menurut Poengky, Freeport merupakan perusahaan
strategis. Dia penyumbang pajak terbesar dan mendukung dana otonomi khusus.
Freeport juga memberikan sumbangan dana keamanan yang besar sehingga timbul
persaingan dan gesekan antara Polri dan TNI. Meski belakangan, hal ini dibantah
pihak Kodam XVII Cenderawasih bahwa militer tidak terlibat. Menurut Poengky,
pernyataan itu harus dibuktikan dan diselidiki di pengadilan
Seperti Poengky, Yosepha Alomang, Direktris
YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) di Timika juga
mengatakan, dalam operasi, PT. Freeport telah membuat masyarakat mengalami
banyak goncangan. Mereka dibunuh, disiksa dan diperkosa oleh aparat keamanan
yang dibayar Freeport. “Masyarakat adat di sekitar areal penambangan tidak
merasakan hasil dari tambang raksasa itu. Justru rakyat menjadi korban,”
ujarnya.
Sampai disini, Freeport akhirnya dianggap sebagai
biang konflik. Penentu bisnis militer dan sebagai alasan terjadinya kekerasan
di Timika. Atas persoalan ini, Brad Adams, Direktur Eksekutif Human Rights
Watch (HRW) Regional Asia dalam pemaparan hasil penelitian tentang bisnis
militer di Indonesia, beberapa waktu lalu, yang dilaporkan dengan judul “Too
High a Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military’s Economic
Activities” menyebutkan, praktik bisnis yang terus-menerus dibiarkan tentu
akan mendorong munculnya kecenderungan perilaku di kalangan militer untuk
mencari rente atau keuntungan (rent-seeking behaviour). Ini terjadi di
sejumlah bisnis pertambangan, seperti Exxon dan Freeport. Keterlibatan
militer di dunia bisnis kerap pula menimbulkan pelanggaran HAM. “TNI
punya catatan suram di bidang HAM. Dan pelanggaran-pelanggaran itu dipicu
praktik bisnis militer yang dilakukan dengan alasan untuk mencukupi
kebutuhan institusi yang tidak bisa dipenuhi oleh anggaran negara,”
ungkap Adams. Menurutnya, komitmen para petinggi TNI harus diwujudkan dengan
segera untuk mengakhiri bisnis militer. Apabila tenggat waktu itu
dipenuhi, reformasi di bidang keuangan militer tentu akan menandai terjadinya
kemajuan besar ke arah reformasi struktural TNI.
Jika tidak, tentu dipastikan, perusahaan yang
dikuasai AS dengan 81,2 saham itu akan selalu mengalami nasib buruk. Kekerasan
dan pembunuhan pasti akan terus terjadi sepanjang tahun. Mungkin inilah yang
mendorong Arkilaus Arnesius Baho, mantan Ketua Umum AMP Internasional, untuk
mengatakan Freeport adalah otak di balik tumbuhnya benih-benih kekerasan
terhadap kedaulatan rakyat Indonesia. (JUBI/Jerry Omona)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar